Sengketa Proses dan Administrasi Pemilu di PTUN

  • Oleh:
  • Dibaca: 33518 Pengunjung

SENGKETA PROSES DAN ADMINISTRASI PEMILU DI PTUN

disampaikan oleh:

SIMSON SERAN, S.H., M.H.

(Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar)

 

 

  1. Dasar hukum beracara di PTUN.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang melandasi praktek penyelesaian Sengketa Proses dan Administrasi Pemilu di PTUN (dikenal sebagai sumber hukum formiil) dalam menegakkan kebenaran hukum materiil adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  3. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
  5. Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum, beserta perubahan-perubahannya.
  6. Peratuan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum Di Mahkamah Agung.
  7. PERMA Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum Di Pengadilan Tata Usaha Negara.
  1. Beberapa istilah pada Sengketa Proses dan Administrasi Pemilu di PTUN.

Peristilahan yang diuraikan dalam makalah ini adalah beberapa istilah dalam praktek penyelesaian Sengketa Proses dan Administrasi Pemilu di PTUN.

    1. Sengketa Proses Pemilu diartikan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang TUN Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD atau Partai politik calon peserta Pemilu atau Bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan KPU, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Propinsi dan KPU Kab/ Kota (Pasal 470 Undang-Undang Pemilu).
    2. Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi
      pelaksanaan Pemilihan Umum dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif, tidak termasuk tindak pidana Pemilihan Umum dan pelanggaran kode etik (Pasal 1 angka 8 Perma Nomor 4 Tahun 2017).
    3. Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum adalah penyelesaian perselisihan antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,  DPRD Kabupaten/Kota atau Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dikenai sanksi administratif pembatalan melawan KPU sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang pembatalan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden atau Keputusan KPU tentang pembatalan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten /Kota (Pasal 1 angka 9 Perma Nomor 4 Tahun 2017).
    4. Penggugat adalah Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupeten/Kota, atau Partai Politik Calon Peserta Pemilu, atau Bakal Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang keberatan yang keberatan terhadap Keputusan KPU tentang Partai Politik Calon Peserta Pemilu, Keputusan KPU/KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang DCT anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 1 angka 9 Perma Nomor 5 Tahun 2017).
    5. Tergugat adalah KPU/KPU Povinsi atau KPU Kabupaten/Kota (Pasal 1 angka 10 Perma Nomor 5 Tahun 2017).

Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 Perma Nomor 4 Tahun 2017 yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah Agung yang berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan pelanggaran administrtif pemilihan umum, maka pembahasan selanjutnya hanya difokuskan pada Sengketa Proses Pemilihan Umum (SPPU) di PTUN.

  1. Subjek dan Objek Sengketa Pada Sengketa Proses Pemilihan Umum di Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 466 Undang-Undang Pemilu, mengkategorikan sengketa proses Pemilu mejadi dua jenis yang meliputi sengketa yang terjadi antar Peserta Pemilu dan sengketa peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan Kabupaten/Kota. Demikian juga ketentuan Pasal 3 Perbawaslu tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, mengkategorikan dua sengketa proses pemilu, yakni pertama: sengketa proses pemilu yang terjadi antar peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu, dan kedua, sengketa proses pemilu yang terjadi antar peserta pemilu.

Pasal 470 ayat (2) Undang-Undang Pemilu memberikan pemaknaan terhadap arti sengketa proses pemilu sebagai sengketa yang terjadi antara:

  1. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173;
  2. KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235; dan
  3. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari DCT sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan DCT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dan Pasal 266.

Sebelumnya ketentuan Pasal 469 ayat (1) telah menyebutkan bahwa Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan:

  1. verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu;
  2. penetapan DCT anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan
  3. penetapan Pasangan Calon.

Dalam hal penyelesaian sengketa proses pemilu sebagaimana dimaksud ketentuan tersebut yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan TUN. Apabila rumusan undang-undang ini dimaknai secara harafiah, maka sangat dimungkinkan KPU mengajukan upaya hukum atas putusan Bawaslu ke PTUN. Oleh karena itu di dalam Pasal 1 angka 9 dan angka 10 Perma Nomor 5 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu di Pengadilan TUN, kedudukan pihak Penggugat dan Tergugat telah dipertegas sebagaimana telah diuraikan pada poin peristilahan.

Pemaknaan KPU tidak dapat didudukan sebagai subjek Penggugat adalah karena yang menjadi objek sengketa adalah Keputusan KPU/Keputusan KPU Provinsi dan Keputusan KPU Kabupaten/Kota, maka kedudukan KPU/KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota adalah sebagai pihak yang mempertahankan keabsahan keputusan yang dibuatnya. Dengan penegasan kedudukan para pihak dalam Perma tersebut, maka terhadap KPU/KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, apabila tidak menerima terhadap putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota tidak dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan TUN dalam kedudukan sebagai Penggugat.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 11 Perma Nomor 5 Tahun 2017 menyebutkan objek sengketa proses pemilu adalah Keputusan KPU tentang Partai Politik Calon Peserta Pemilu, Keputusan KPU/KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang penetapan DCT anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, atau Keputusan KPU tentang Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan demikian, subyek dan objek sengketa proses pemilu apabila ditabulasi adalah sebagai berikut:

Tergugat

Penggugat

Objek Sengketa

KPU

Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi.

Keputusan KPU tentang Penetapan Partai              Politik Peserta Pemilu.

Pasangan    Calon                       yang tidak lolos verifikasi.

Keputusan KPU tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden / Wakil Presiden.

KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota

calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari DCT.

Keputusan KPU tentang Penetapan DCT.

Berdasarkan uraian penentuan subyek dan objek tersebut di atas, dalam hal terdapat gugatan dengan objek sengketa selain yang ditentukan sebagai objek sengketa proses pemilu, jika gugatan tersebut diajukan dalam masa pengajuan gugatan sengketa proses pemilu, maka gugatan dapat dinyatakan tidak diterima oleh Majelis Hakim.

Timbul pertanyaan jika keputusan KPU tentang penetapan DCT dapat digugat di Peradilan TUN setelah diputuskan terlebih dahulu oleh Bawaslu, lantas kemana mekanisme upaya hukum atas penetapan DCS (Daftar Calon Sementara)?. Terhadap bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang tidak ditetapkan sebagai daftar calon sementara anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ataupun terhadap calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang tercantum dalam daftar calon sementara tidak ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagai DCT anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu yang diwakili oleh Parpol sesuai tingkatannya. Dengan kata lain, calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tidak bisa secara langsung menjadi pemohon sengketa, tetapi harus diwakili oleh parpol masing- masing.

  1. Kewenangan PTUN pada Sengketa Proses Pemilihan Umum.

Didasarkan pada ketentuan Pasal 470 Undang-Undang Pemilu, Perma Nomor 5 Tahun 2017 melalui ketentuan Pasal 2 ayat (2), secara tegas diatur bahwa pengadilan berwenang mengadili Sengketa Proses Pemilihan Umum setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu telah digunakan. Dengan demikian, secara normatif Pengadilan TUN memiliki kewenangan menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Proses Pemilihan Umum setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu dilalui oleh Penggugat.

Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Perma Nomor 5 Tahun 2017, menyebutkan: Gugatan sengketa proses pemilihan umum diajukan di pengadilan di tempat kedudukan tergugat, paling lama 5 (lima) hari setelah dibacakannya putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota.

Jika ketentuan tersebut dihubungkan dengan jenis keputusan yang dijadikan objek sengketa yang dapat digugugat di PTUN, maka dapat disimpulkan bahwa untuk sengketa terhadap keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu dan Keputusan KPU tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden yang ditetapkan KPU RI yang berkedudukan di Jakarta, maka pengadilan yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan TUN Jakarta. Sedangkan untuk sengketa Keputusan KPU tentang Penetapan DCT Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, maka pengadilan yang berwenang mengadili adalah pengadilan yang berada di Provinsi/Kabupaten/Kota setempat.

  1. Hukum Acara SPPU.

Berikut diuraikan mengenai Hukum Acara Pemeriksaan SPPU di PTUN didasarkan pada Undang-Undang Pemilu dan Perma Nomor 5 Tahun 2017.

  1. Karakteristik Khusus SPPU.

Karakteristik khusus pemeriksaan SPPU, sebagai berikut:

  • Perhitungan hari adalah hari kerja;
  • Perbaikan kelengkapan gugatan dilakukan dalam waktu 3 (tiga) hari, jika dalam waktu tersebut gugatan masih tidak lengkap maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijkverklaard/NO);
  • Tidak ada upaya hukum atas putusan NO.
  • Lama pemeriksaan paling lama 21 hari kerja.
  • Tidak ada upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali dan/atau putusan pengadilan bersifat akhir dan mengikat (final and binding);
  • Diperiksa oleh hakim khusus TUN Pemilu yang ditunjuk ketua MA atas usul ketua Pengadilan, paling sedikit 3 tahun menjalankan tugas sebagai hakim dan mempunyai pengetahuan tentang Pemilu;
  • Pemberitahuan putusan paling lama 3 hari kerja.
  1. Pendaftaran Gugatan di PTUN.

Alur pendaftaran gugatan dilakukan dengan tata cara, sebagai berikut:

  • Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Proses Pemilu ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu seluruhnya telah digunakan/dilakukan.
  • Diajukan ditempat kedudukan Tergugat, paling lama 5 hari setelah putusan Bawaslu.
  • Diajukan secara langsung, atau melalui faksimele atau surat elektronik dengan menyertakan Keputusan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota yang menjadi objek  sengketa.
  • Menyebutkan alamat lengkap termasuk alamat surat elektronik dan nomor telepon Penggugat atau kuasanya. Selain dalam bentuk tertulis juga dalam bentuk format digital.
  1. Isi Surat Gugatan.

Gugatan yang diajukan berisi, antara lain:

  • Identitas Penggugat, meliputi: nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan Penggugat, identitas kuasa apabila diwakili oleh kuasa, dan alamat surat elektronik dan nomor telpon;
  • Identitas Tergugat, melipui: nama jabatan, dan tempat kedudukan;
  • Objek sengketa disebut/ditulis secara jelas dan lengkap;
  • Kedudukan hukum Penggugat;
  • Tenggang waktu pengajuan gugatan;
  • Alasan-alasan gugatan mengenai pelanggaran hukum administrasi yang dilakukan Tergugat dari aspek kewenangan, prosedur dan/atau substansi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
  • Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus;
  • Gugatan ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya.
  1. Hal yang dimohonkan untuk diputus.

Dalam gugatannya Penggugat wajib mengeraikan hal apa yang dimohonkan untuk diputus. Pasal 4 ayat (1) huruf g Perma Nomor 5 Tahun 2017, menetapkan jenis permohonan yang diajukan oleh Penggugat untuk diputus, antara lain:

  • Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
  • Menyatakan batal keputusan KPU/KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota;
  • Memerintahkan Tergugat untuk mencabut objek sengketa tersebut;
  • Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan tentang penetapan Penggugat sebagai partai politik peserta Pemilu/pasangan calon Presiden/Wakil Presiden/calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota; dan
  • Perintah membayar biaya perkara.
  1. Pemanggilan dan Jadwal Sidang.
  1. Pemanggilan.
  • Dilakukan oleh kepaniteraan melalui surat elektronik, facsimile, email, surat tercatat atau disampaikan langsung oleh Jurusita;
  • Tenggang waktu pemanggilan para pihak paling singkat 3 (tiga) hari sebelum sidang pertama;
  • Pemanggilan kepada Tergugat dimapiri dengan Salinan surat gugatan.
  1. Jadwal sidang.
  • Penetapan jadwal sidang (court calendar) dilakukan Majelis Hakim pada hari sidang pertama;
  • Para pihak wajib mematuhi jadwal persidangan yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim;
  • Jadawal persidangan bersifat mengikat para pihak.
  • Tahapan persidangan 21 hari yang ditetapkan melalui Jadwal Persidangan, antara lain: Pembacaan Surat Gugatan, Penyerahan Surat Jawaban, Pembuktian (surat dan saksi/ahli) oleh Penggugat, Pembuktian (surat dan saksi/ahli) oleh Tergugat, Penyampaian Kesimpulan Para Pihak, dan Putusan.
  1. Perbaikan Gugatan.

Proses perbaiakn gugatan Penggugat dilakukan melalui tahap:

  • Bila gugatan kurang lengkap dapat diperbaiki dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak gugatan diterima di PTUN;
  • Perbaikan Gugatan dilakukan Penggugat atas petunjuk Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua PTUN;
  • Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja Penggugat belum menyempurnakan gugatan, Majelis Hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima (Pasal 471 ayat (4) Undang-Undang Pemilu);
  • Terhadap putusan Majelis Hakim akibat tidak disempunakannya gugatan Penggugat tidak dapat diajukan upaya hukum.
  1. Hakim Khusus.

Ketua Pengadilan TUN dalam menetapkan penunjukkan Majelis Hakim pemeriksa SPPU, wajib memperhatikan syarat khusus yang dimiliki oleh seorang Hakim, antara lain:

  • Merupakan Hakim karier dilingkungan PTUN;
  • Hakim khusus SPPU adalah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung RI setelah dinyatakan lulus pendidikan sertifikasi Hakim Pemilu;
  • Majelis Hakim ditunjuk paling lama hari berikutnya setelah gugatan didaftarkan di Pengadilan;
  • Hakim khusus wajib menguasai pengetahuan tentang pemilu;
  • Hakim khusus adalah hakim yang telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3 (tiga) tahun, kecuali apabila dalam suatu pengadilan tidka terdapat hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 (tiga) tahun.
  1. Proses Persidangan.

Proses persidangan SPPU di PTUN dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Dilakukan secara terbuka untuk umum;
  • Tahap persidangannya: Pembacaan Gugatan, Jawaban, Pembuktian, dan Putusan;
  • Alat bukti meliputi: surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli pengakuan para pihak, pengetahuan hakim, alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik;
  • Majelis Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, beserta alat bukti yang digunakan;
  • Sahnya pembuktian sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim;
  • Pengujian yang dilakukan berdasarkan aspek kewenangan, prosedur dan/atau substansi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
  1. Putusan dan Pelaksanaannya.
  • PTUN memeriksa dan memutus SPPU paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak gugatan dinyatakan lengkap;
  • Salinan Putusan diberikan kepada pihak yang bersengketa paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak putusan diucapkan;
  •  

  • 21 November 2022
  • Oleh: ptundenpasar
  • Dibaca: 33518 Pengunjung

Artikel Terkait Lainnya