Tak Ada Hukuman Buat Notaris Nakal

  • Oleh:
  • Dibaca: 1919 Pengunjung
Meski sejumlah kasus hukum di pengadilan melibatkan notaris, sepanjang tahun 2005 hingga 2008 tidak ada penindakan terhadap notaris dari organisasi. Ditengarai sebagai akibat tidak berfungsinya Majelis Pengawas. Sepanjang tahun 2005 hingga 2008 para notaris, termasuk notaris ‘nakal’, bisa bernafas lega. Sebab, selama periode tersebut baik Ikatan Notaris Indonesia (INI) maupun Majelis Pengawas Notaris (MPN) tidak pernah menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap notaris ‘nakal’. Padahal saat kongres INI XX di Surabaya berlangsung, mencuat banyak dugaan pelanggaran yang dilakukan notaris. Mulai dari pelanggaran UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris, penggelapaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dibayarkan klien, hingga membuat akta meski berada di balik jeruji besi. Ketua Umum INI Tien Norman Lubis mengakui banyak pelanggaran yang dilakukan notaris. Masalahnya tidak perlu dilaporkan ke hadapan kongres untuk ditindaklanjuti. “Sudah dapat diselesaikan. Percayalah tidak ada kesengajaan untuk tidak menjatuhkan pemecatan,” ujar Tien usai membacakan laporan pertanggungjawaban Ketua INI di Surabaya, Jumat (30/1) lalu. Tidak adanya notaris yang dikenakan sanksi oleh organisasi memang patut dipertanyakan karena sudah ada Majelis Pengawas Notaris. Selain oleh MPN, kalangan anggota Komisi Hukum DPR pun mengaku tetap mengawasi. “Komisi III akan terus mengawasi perilaku notaris dan pejabat pembuat akta tanah, karena banyak notaris yang seenak-enaknya membuat akta dan mereka harus memperbaharui izin pertahun,” ujar Nursyahbani Katjasungkana. Tien menyadari bahwa pelanggaran oleh profesi notaris dapat menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Untuk meningkatkan etika profesi notaris, INI menyelenggarakan ujian kode etik tiap tahun. Selain itu, anggota INI yang duduk dalam MPN baik di tingkat pusat, daerah maupun wilayah melaporkan hasil kerja MPN ke INI tiap enam bulan, “Pembinaan anggota merupakan kewajiban dari semua unsur organisasi,” ujarnya. Bisa jadi, minimnya penindakan notaris nakal disebabkan MPN bersifat tidak bisa proaktif. Dalam wawancara dengan hukumonline beberapa waktu lalu, Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM Syamsudin Manan Sinaga, MPN tidak bisa bertindak tanpa ada laporan dari masyarakat. Pasal 70 UU Jabatan Notaris huruf g hanya memberi wewenang kepada MPN Daerah untuk menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik. Di kalangan notaris sendiri, seperti wacana yang berkembang di Kongres Surabaya, MPN kerap dicap sebagai seperti ‘jeruk makan jeruk’. Salah satu peserta kongres yang juga anggota MPN Jambi menyatakan banyak notaris mengeluh karena dalam pemeriksaan anggota MPN dilakukan dengan membuka akta satu per satu dan membacanya. “Terutama dari kalangan akademisi dan Departemen Hukum dan HAM,” ujarnya. Padahal dalam UU Jabatan Notaris akta tidak boleh dibacakan kecuali para pihak yang tertuang dalam akta Notaris Surabaya, yang juga anggota MPN Surabaya Miftachul Machsun menyatakan tugas MPN lebih ditekankan pada pembinaan, bukan pengawasan. “MPN bukan bertugas untuk mencari kesalahan notaris,” ujarnya. Hapuskan MPN Di tengah minimnya peran MPN, salah satu kandidat ketua INI, MG Widyatmoko berambisi untuk menghapuskan MPN dalam UU Jabatan Notaris. Menurutnya, peran MPN kecil lantaran tidak ada dana. “Selalu uang masalahnya,” ujarnya. Lagipula, unsur akademisi dan pemerintah dalam MPN tidak maksimal. Sebab mereka tidak terlalu memahami peran notaris. “Percuma ada ketentuan MPN, mubazir, sehingga kacaulah dunia notaris sekarang, sebentar-sebentar dipanggil polisi,” ujarnya. Ia menambahkan Dewan Kehormatan INI sebenarnya memiliki kewenangan untuk menindak notaris nakal. Namun karena ada MPN yang tugasnya sama-sama melakukan pembinaan dan pengawasan, Dewan kehormatan tidak bisa berperan aktif. “Tumpang tindih dengan MPN,” imbuh notaris yang bekerja di wilayah jakarta Timur itu. Widyatmoko menyarankan pengawasan notaris seharusnya berada di bawah organisasi notaris. Bentuknya dewan kehormatan yang merupakan bagian dari organisasi. “Jadi organisasi punya wibawa,” katanya. Selain itu, notaris bukan profesi. Notaris adalah sebuah jabatan yang tidak jauh dengan presiden, hakim, jaksa dan polisi. “Karena itu pengawasanya harus dilakukan oleh mereka sendiri. Ini tidak disadari oleh pembuat undang-undang,” ujarnya. ia mencontohkan seperti dalam dunia advokat, pengawasan dilakukan oleh Dewan Kehormatan PERADI. “Kenapa notaris harus diawasi orang lain,” imbuhnya. Pidana Buat Notaris Menurut Widyatmoko, untuk menindak notaris nakal seharusnya UU Jabatan Notaris memuat ketentuan pidana khusus buat botaris kalau melanggar jabatan. Baik itu pidananya berupa denda, kurungan atau penjara Sebab notaris bertugas membuat akta. Dengan akta itu, notaris bisa menyebabkan seseorang hilang hak. “Kalau hak orang hilang, otomatis masyarakat akan dirugikan karena itu perilaku notaris perlu diawasi,” katanya. Untuk pembinaan, kata Widyatmoko, seharusnya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sebab produk notaris adalah akta otentik yang bisa menjadi bukti yang sempurna di pengadilan. Nantinya, pembinaan itu dilakukan dengan memeriksa pembukuan dan protokoler notaris Masyarakat juga membuat komisi pengawas notaris khusus yang independen. Komisi itu sifatnya hanya melihat dan melaporkan, tidak bisa melakukan penindakan, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia. “Masyarakat boleh dilibatkan tapi bentuknya tidak dalam bentuk majelis,” kata Widyatmoko.

  • 18 Desember 2010
  • Oleh: ptundps
  • Dibaca: 1919 Pengunjung

Berita Terkait Lainnya